Mbul dan Hun adalah pengantin baru. Keduanya menikah tiga hari jelang Ramadan tahun ini. Pagi, siang, malam sejoli ini selalu bersama tak terpisahkan. Maklum, mereka sedang dimabuk cinta.
Awal Ramadan ini Mbul terlihat galau. Siang kemarin dia ditegur ayah mertua yang melarangnya untuk tidak sering-sering berduaan bersama istri di dalam kamar. Sang mertua khawatir anak dan menantunya batal puasa gegara bercinta.
Bercinta di siang hari (jima’) saat Ramadan sangat dilarang agama. Ada ketentuan khusus bagi para pelaku larangan ini yakni membayar atau menebus dosa yang dalam bahasa Arab disebut kafarat. Apa saja jenis kafarat tersebut?
Hadis riwayat Bukhari dan Muslim menyatakan ada tiga jenis kafarat bagi seorang suami yang batal puasa karena nekat bercinta dengan istri di siang bolong. Pertama membebaskan budak; kedua berpuasa dua bulan berturut-turut; dan ketiga memberi makan 60 orang fakir miskin.
Masalahnya adalah tiga jenis kafarat itu bukan pilihan yang bisa dipilih secara acak. Maksudnya kita tidak bisa bebas memilih satu di antara tiga penebus dosa tersebut.
Masih menurut Bukhari dan Muslim, tiga jenis sanksi di atas harus berlaku urut. Dan, karena di zaman modern ini perbudakan sudah tidak ada lagi, itu artinya kafarat pertama yakni membebaskan budak tidak bisa kita pilih.
Itu berarti pilihan kedua (puasa 60 hari) adalah konsekuensi logis bagi pelanggar aturan ini. Pertanyaannya apakah kita atau kalian pengantin baru sudah siap untuk berpuasa 60 hari berturut-turut? Baru berjalan satu hari saja sudah batal, apalagi harus 60 hari tanpa jeda. Sepertinya hukuman penebus dosa seperti ini akan sangat berat dijalankan.
Apakah kita bisa memilih opsi ketiga?
Bukankah memberi makan 60 orang fakir miskin itu lebih mudah dilakukan? Selain praktis hukuman ini juga punya dampak sosial bagi perbaikan ekonomi warga miskin. Intinya, kita tidak perlu susah payah menjalani hukuman puasa selama dua bulan lagi.
Menurut Kiai Sahal Mahfudh, di dalam buku “Dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh-Solusi Problematika Umat” bagaimanapun beratnya begitulah hukum telah ditetapkan. Sang Kiai mengingatkan jika tidak ingin tertimpa beratnya hukum sebaiknya kita berhati-hati. Kita jangan sampai coba akal-akalan atau mengakali ketentuan Allah. Lebih baik kita kurangi tindakan-tindakan lahiriah ekspresi kemesraan suami-istri di siang bolong.
Solusi sekarang bagi kita dan lebih khusus pengantin baru ialah jaga jarak. Bikinlah kesibukan. Hindari segala sesuatu yang dapat menyebabkan kita jatuh ke dalam jenis pelanggaran ini.
Jadi, hati-hati dan bersabarlah kalian para pengantin baru. Maghrib masih jauh, he..he..
Oh iya, sebagai informasi tambahan, masih menurut Kiai Sahal Mahfudh, secara umum kewajiban kafarat dalam kasus ini hanya berlaku bagi pihak suami. Pihak istri sebagai objek lain yang disetubuhi (al-maf’ul biha) tidak perlu menjalani puasa 60 hari berturut-turut seperti yang harus dilakukan si suami.