Mengenang Bi Muah, Pembuat Serabi Lereng Gunung Slamet

0

Dekade 90-an, di sebuah desa kecil utara Gunung Slamet, hidup seorang nenek pembuat serabi. Ini sejenis kue berbahan tepung beras dan santan kelapa yang dipanaskan di atas cetakan berbahan tanah liat. Warga desa memanggil si nenek sebagai Bi Muah.

Anak-anak usia SD di desa sangat akrab dengan Bi Muah. Tiap pagi sehabis Subuh mereka duduk di dapur Bi Muah menunggu serabi-serabi pesanan matang. Serabi-serabi tersebut merupakan menu sarapan sebelum berangkat sekolah.

Saya tidak ingat berapa harga serabi Bi Muah waktu itu. Ingatan saya hanya kepada saat-saat Bi Muah duduk di depan tungku, membersihkan cetakan serabi menggunakan serabut kelapa, menuang cairan santan ke cetakan, menutupnya, membuka tutup (memeriksa), dan setelah matang mengangkat serabi-serabi itu.

Serabi-serabi yang matang ditempatkan di tampah berbahan bambu. Saya ingat tampah-tampah itu dibuat oleh suami Bi Muah yang waktu itu juga seorang perajin anyaman bambu. Selain tampah ada juga kedo. Ini sejenis boks dari bambu untuk keperluan menaruh barang-barang, beras, atau buah-buahan.

Tak berapa lama setelah serabi-serabi sampai di atas tampah Bi Muah mengambil daun pisang. Waktu itu daun pisang adalah pengganti piring bagi anak-anak agar tidak kepanasan. Serabi-serabi itu diserahkan kepada siapa saja yang datang lebih dulu memesan serabi.

Bi Muah dan serabi adalah kenangan tak terlupakan bagi anak-anak desa. Kini, setiap saya pulang ke desa, saya kerap mengingat masa-masa kecil itu: duduk antre di dalam dapur sambil bersabar menunggu giliran mendapat serabi panas langsung dari si pembuatnya. Saya juga sangat terkenang dengan alas daun pisang yang diberikan Bi Muah agar tangan kecil anak-anak tidak kepanasan.

Harga Rp 500-2000

Saya tumbuh besar bersama serabi-serabi Bi Muah tersebut. Sayang, saat SMP saya tak lagi sarapan serabi Bi Muah. Bukan karena bosan tapi karena Bi Muah sudah meninggal dunia tanpa mewariskan keahlian membuat serabi kepada siapapun.

Setahu saya sampai sekarang ini masih banyak penjual serabi di desa-desa kaki Gunung Slamet. Di antaranya di Karangsari, Gunungsari, Moga, Banyumudal, Walangsanga, dan Mandiraja.

Saya pernah melihat ibu-ibu menggendong baskom berisi serabi berkeliling desa. Selain serabi ada juga gorengan tempe. Harga satu serabi adalah Rp 500-2000.

Ibu-ibu penjual serabi dan gorengan itu mengingatkan saya kepada Bi Muah dan serabi buatannya. Perlahan membawa kenangan saya kepada tahun-tahun di mana hanya ada serabi dan gorengan di meja sarapan keluarga.

Makan serabi dan gorengan tempe adalah hal biasa bagi orang-orang di kaki Gunung Slamet. Gorengan membuat serabi dengan rasa original lebih gurih di mulut.

Sebagai informasi, orang-orang di kaki Gunung Slamet tidak mengenal atau terbiasa makan serabi aneka rasa apalagi manis. Mereka hanya mengenal satu rasa: original untuk tidak menyebutnya sebagai asin atau tawar mirip rasa kelapa.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here