Sewaktu saya kecil dulu (sebelum tahun 2000), ngabuburit hanya diisi dengan bermain layang-layang di sawah, mengaji di musala, atau naik sepeda. Tidak hanya anak-anak, banyak juga orang dewasa yang duduk-duduk di pinggir jalan menikmati suasana sore sambil melihat Gunung Slamet serta orang berlalu-lalang di jalan desa tepi sawah. Kami semua menunggu datangnya waktu buka puasa.
Ramadan di desa zaman dulu juga lekat dengan petasan. Petasan waktu itu tidak dibeli, melainkan dibuat sendiri. Zaman dulu anak-anak usia SD-SMP di desa sangat kreatif mampu membuat mainan berbiaya murah tapi hasilnya canggih.
Bahan petasan terbuat dari bambu dengan panjang 1 meter. Bambu itu atasnya dilubangi, diberi minyak tanah, setelah itu ditiup dengan api, dan… DEMMMM!!! Begitulah kira-kira bunyinya. Nyaring sekali, tidak kalah dari petasan yang biasa dijual di pasar atau pedagang kaki lima.
Di antara ritual Ramadan yang mungkin paling meriah adalah salat tarawih. Bagi anak-anak kecil, salat tarawih di masjid merupakan hiburan tersendiri. Waktu itu anak-anak bisa main sepuasnya seperti kejar-kejaran bahkan perang-perangan di masjid.
Suasana menjadi kian menyenangkan ketika saya bergabung dengan teman-teman di barisan belakang. Ketika bacaan salawat dikumandangkan menandai dimulainya salat tarawih, kami adalah yang paling keras menjawabnya, “Shalli wa sallim wa barik ‘alayh”. Suara keras kami tak ada habisnya dari rakaat pertama sampai terakhir tarawih serta witir.
Anak-anak kadang bercanda dan saling dorong, sehingga membuat suasana salat tarawih agak sedikit terganggu. Masih ingat, suatu kali saya ketahuan oleh Bapak. Beliau marah sekali, bahkan memukuli saya dengan serbannya. Itu pertama kalinya saya dipukul Bapak.
Namun, sekarang saya harus kehilangan itu semua. Suasana desa yang alami dan penuh keasrian sudah tidak ada lagi. Hamparan sawah yang luas di sana-sini, sekarang sudah berganti dengan bangunan rumah-rumah mewah nan megah.
Suasana tarawih pun tak seramai zaman saya masih kecil. Tak banyak keriuhan di barisan belakang salat. Sepertinya anak-anak sekarang jadi lebih “tertib”.
Sore hari jelang ngabuburit juga tak semeriah dulu. Tak ada layang-layang, petasan dari bambu, dan lalu-lalang sepeda anak-anak di jalan-jalan kampung.
Mungkin itu karena anak-anak di desa hari ini sangat mudah mendapatkan hiburan. Bisa melalui televisi, handphone, internet, playstation, dan lain-lain. Hasilnya, ketika ngabuburit, kebanyakan dari mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan menikmati kecanggihan alat-alat teknologi.
Khusus mereka yang punya sepeda motor, ngabuburit dilakukan dengan berkeliling kampung. Kadang kebut-kebutan di lapangan atau jalanan. Tak lupa semua aktivitas tersebut dilakukan sambil selfa-selfi terus posting di media sosial.
Saya merindukan wajah Ramadan tempo dulu. Tapi zaman memang sudah dan harus berubah.
Penulis: Akromi, Lahir di Desa Mandiraja, Moga Pemalang