Semasa kuliah dulu, sekali waktu saya pernah diundang untuk berceramah pada acara buka puasa bersama di Asrama Ratnaningsih Universitas Gadjah Mada (UGM). Asrama mahasiswi yang terletak di wilayah Sagan ini dari sisi arsitekturnya tampak megah sebagaimana layaknya bangunan-bangunan lama. Dindingnya tebal dan langit-langitnya tinggi. Pintu serta jendela pun kokoh terbuat dari kayu jati.
Meski sebenarnya baru dibangun pada tahun 1950-an ada kesan eksotis seperti gedung-gedung zaman kolonial. Bangunan ini diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1954 bersamaan dengan Asrama Dharma Putra yang ada di dekat Stadion Mandala Krida.
Salah seorang teman saya, Muhammad Saleh, pernah tinggal di sana. Ia yang meminta saya menjadi penceramah di acara ini. Rupanya acara tersebut adalah kegiatan gabungan Asrama Mahasiswi dan Asrama Mahasiswa.
Pada kesempatan itu saya menyampaikan kajian dari hasil mengaji dengan Prof Nurcholis Madjid di acara “Sahur Bersama Cak Nur”. Acara yang disiarkan oleh RCTI ini menghadirkan Cak Nur, sapaan akrab Prof Nurcholis dan dipandu oleh Prof Arief Rachman, seorang pakar dan praktisi pendidikan terkenal.
Generasi saya sungguh beruntung masih bisa menikmati sajian-sajian rohani yang apik dan mencerahkan di televisi sebelum akhirnya dipenuhi tayangan-tayangan kuis dan lelucon. Sambil menikmati santap sahur saya biasanya menyimak tausiyah Cak Nur bersama teman-teman di Sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Bulaksumur. Kadang juga di Warung Bu Ipong yang tak jauh dari situ. Menonton episode per episode tayangan tersebut merupakan salah satu pengalaman Ramadan yang paling berkesan dan membekas di benak saya hingga saat ini.
Saya ingin berbagi kembali hasil mengaji dengan Cak Nur melalui tulisan ini dengan menambahkan sejumlah kasus terkini. Dalam salah satu sesi tayangan, Cak Nur membahas Surah Al Balad dan secara khusus mengulas kata Aqabah, yang oleh Cak Nur diartikan sebagai jalan yang mendaki lagi sukar.
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.
Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.
(QS. 90 : 9-10)
Umumnya manusia ketika ditunjukkan dua jalan di mana yang satu mendaki lagi sukar sedangkan yang lain menurun lagi gampang ia tidak akan mengambil jalan yang pertama, meskipun itu adalah jalan yang benar. Kebanyakan orang bermental jalan pintas. Yang penting gampang, konsekuensinya dipikir belakangan. Tidak peduli bila di ujung jalan itu ada tubir yang bisa membuatnya tergelincir dalam jurang berbatu-batu tajam. Sementara jalan mendaki lagi sukar jarang yang menempuh walaupun di kesudahannya ada taman bunga yang indah dan menawan.
Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? Alquran memberi dua jawaban yaitu pertama, membebaskan perbudakan dan kedua, memberi makan pada hari kelaparan (QS. 90 : 12-14). Melalui ayat-ayat tersebut kita ditunjukkan bahwa jalan kebajikan adalah jalan perjuangan.
Medan yang ditempuh sangatlah berat. Dalam menjalani jalan perjuangan diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan seringkali membutuhkan pengorbanan. Tapi, memang itulah jalan yang mesti dipilih oleh orang beriman untuk mendapatkan kebahagiaan dalam bentuk keridhaan Tuhan.
Terkait perbudakan, secara formal dalam zaman modern ini tentu sudah tidak ada. Namun ternyata praktik-praktiknya masih berlangsung nyata. Lebih dari 40 juta orang di seluruh dunia menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menjadi korban perbudakan modern.
ILO mendeskripsikan perbudakan sebagai “situasi eksploitasi yang tidak dapat ditolak atau ditinggalkan oleh seseorang karena ancaman, kekerasan, paksaan, penipuan, dan/atau penyalahgunaan kekuasaan”. Situasi itu bisa mewujud dalam kasus perdagangan manusia, kerja paksa, keterjeratan utang, eksploitasi anak dan perkawinan paksa. Itu adalah isu-isu kemanusiaan yang sebagian besar masih luput dari perhatian ummat. Inilah satu ruas jalan mendaki lagi sukar itu, pembebasan manusia dari situasi keterbelengguan.
Kemudian, ruas jalan berikutnya adalah memberi makan di masa kelaparan. Dalam kenyataannya, sampai di masa sekarang, kasus kelaparan masih belum hilang. Tentu masih lekat dalam ingatan, setahun silam seorang Ibu di Tangerang meregang nyawa kelaparan akibat dua hari tidak makan dan hanya mengonsumsi air galon isi ulang.
Apakah di daerah tersebut tidak tersedia cukup makanan? Ada. Di lingkungan pertetanggaan mestinya tersedia makanan. Pemerintah pun punya program bantuan sosial. Jadi, makanan sejatinya ada. Hanya saja Ibu yang kelaparan itu meminjam istilah Amartya Sen (1981) tidak memiliki akses terhadap makanan.
Karenanya, dalam kehidupan bermasyarakat kita perlu memastikan tidak ada orang di sekitar lingkungan yang menderita kelaparan. Sebab, Rasulullah pernah menyatakan tidak masuk kategori beriman orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.
Dalam kehidupan bernegara pemerintah wajib menjangkau segenap rakyatnya agar terlindungi dari kelaparan. Rasul juga pernah mengigatkan kepada mereka yang mendapat amanah memerintah namun tidak mengelolanya dengan amanah. Bahkan bau surga pun tak bakalan dapat.
Sudah pasti persoalan yang ada bukan hanya kelaparan. Kelaparan dijadikan contoh nyata dalam Alquran karena ia hal yang tak bisa ditunda pemenuhannya. Adapun inti pesannya tentu adalah membantu mereka yang sedang dalam masa kesusahan dan kekurangan.
Penulis: Ahmad Sabiq (Pengajar FISIP Unsoed Purwokerto)