Hari ini saya akan cerita soal serabi gongseng. Kabarnya serabi dari Desa Gongseng ini hanya muncul pada bulan Ramadan. Itu pun di pertengahan puasa sampai malam Lebaran saja.
“Mulai tanggal 15 Ramadan sampai malam Idulfitri,” ujar Tias Puji Retno Asih, baru-baru ini.
Tias ini anak seorang penjual serabi gongseng bernama Turmijah (54 tahun). Turmijah merupakan satu-satunya pembuat serabi khas Ramadan di Desa Gongseng. Keahlian membuat serabi tersebut Turmijah dapat dari sang ibunda: Murinah.
Sebenarnya serabi gongseng tak jauh beda dengan serabi-serabi dari daerah lain. Punya rasa asin serta gurih karena terbuat dari campuran tepung beras dan santan kelapa. Serabi gongseng juga dimasak tanpa menggunakan minyak.
Turmijah biasa membuat serabi setelah Zuhur sampai pukul 17.00 WIB. Namun jika pesanan serabi lumayan banyak ia bisa mulai bekerja pukul 12.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB.
Tias membantu sang bunda menjual serabi gongseng ke tetangga ataupun warga Desa Gongseng secara umum. Serabi tersebut bisa dibeli langsung di rumah bisa juga diantar. Satu serabi dihargai Rp 500.
Warga membeli serabi-serabi Turmijah untuk berbagai keperluan. Antara lain untuk jamuan hajatan, syukuran, oleh-oleh, dan dikonsumsi saat buka puasa. Serabi gongseng biasa disantap bersama cairan gula merah atau santan kelapa.
Zaman dulu Turmijah menggunakan kayu bakar untuk memasak serabi khas Ramadan ini. Tapi seiring waktu dengan alasan praktis serta makin langkanya kayu bakar Turmijah menggunakan kompor gas.
Menurut Tias ada pembuat serabi khas Ramadan di sekitar Gunung Gajah yang masih menggunakan kayu bakar. Tias menyebut seorang pembuat serabi bernama Sutiyah di Dusun Cipero Desa Kedungjati. Meski bersebelahan dengan Desa Gongseng secara administratif desa ini ikut Kabupaten Tegal.
Sutiyah ini ternyata kakak perempuan Turmijah. Jadi mereka masih satu saudara pelestari serabi khas Ramadan di sekitar Gunung Gajah.
Gongseng merupakan desa terjauh di Kecamatan Randudongkal, Pemalang selatan. Jarak tempuh Randudongkal-Gongseng sekitar 2 jam melewati hutan Perhutani.
Desa Gongseng berada di kaki Gunung Gajah. Orang Pemalang yang ingin ke desa ini biasanya lebih memilih jalur utara yakni melaui kawasan bekas Pabrik Gula Sumberharjo ke barat tembus Kecamatan Warureja Kabupaten Tegal. Gongseng memang berbatasan dengan Kabupaten Tegal.
Faktor geografis itu membuat keseharian warga Gongseng lebih dekat dengan desa-desa tetangganya di Kabupaten Tegal. Dulu, karena faktor jarak anak-anak Gongseng pun sebagian besar memilih melanjutkan pendidikan tingkat SMP di kecamatan/kabupaten tetangga dibanding ke Randudongkal/Pemalang.
Tias adalah salah satu contohnya. Setelah SD dia melanjutkan sekolah ke SMP 2 Warureja. Lokasi sekolah ini ada di Desa Sigentong Kecamatan Warureja. Tias kecil biasa ke sekolah naik sepeda selama 45 menit.
Operator di SMP Negeri Gongseng Satu Atap ini punya cerita soal sekolah dan serabi. Dulu, karena di desanya belum ada tempat penggilingan tepung beras, ia biasa disuruh ibunya membawa beberapa kilogram beras ke sekolah.
Sepulang sekolah Tias kemudian membawa beras tersebut ke penggilingan beras di Desa Kedungjati. Setelah jadi tepung (bahan baku serabi) ia bergegas pulang mengayuh sepeda sekuat tenaga karena sudah ditunggu ibunya.
“Dulu jalan di sini belum beraspal, jadi naik sepeda ke sekolah sambil membawa gilingan beras itu penuh perjuangan,” ujar Tias.