Ateis Yang Kafah

0
Asrama Dorus dan Bazarlaan Institute of Social Studies, The Hague,The Netherlands. Dok Ahmad Sabiq.

Suatu kebetulan saat dulu kuliah saya ditempatkan di luar asrama utama yang bersebelahan dengan kampus. Di asrama itu saya tinggal bersama lima mahasiswa lain. Dua dari Amerika Serikat, tiga dari Afrika. Saya satu-satunya orang Asia.

Agama dan keyakinan kami beragam. Saya dan satu orang dari Afrika beragama Islam, dua orang Afrika yang lain beragama Kristen. Sementara dua orang Amerika itu tidak beragama.

Salah satunya bahkan secara eksplisit mengatakan, “I am totally atheist.” Saya ateis yang kafah. Kira-kira begitu terjemahnya.

Kafah adalah istilah keagamaan yang sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Artinya sempurna dan keseluruhan. Teman kami sepertinya ingin disebut sebagai seorang ateis yang sempurna ataupun telah masuk ke dalam ateisme secara keseluruhan.

Seorang lagi meski mengaku tidak beragama, masih percaya pada adanya jenis kekuatan lebih tinggi yang mengatur alam ini. Dengan teman ini saya kurang begitu akrab. Ia adalah personel militer Amerika yang menempuh studi lanjut di kampus kami. Tak mengherankan potongan rambut dan kumisnya selalu rapi. Ia juga irit bicara.

Pengakuan duo Amerika itu awalnya mengejutkan sebagian teman. Seorang dari mereka secara terus terang menunjukkan keheranannya, “Bagaimana mungkin orang tidak beragama?” ujarnya. Ia memang seorang pemeluk agama yang taat. Namun yang pasti, kami berenam bisa hidup rukun. Perbedaan tidak menjadi masalah bagi kami untuk bercanda, bercengkerama, dan bekerjasama.

Pernah kami bersama menyusun surat protes untuk kampus. Kami merasa diperlakukan tidak adil terkait fasilitas asrama. Asrama yang kami huni lumayan jauh dari kampus. Perlu beberapa waktu berjalan kaki atau bersepeda untuk sampai di sana.

Kamar kami ukurannya juga lebih kecil dari kamar yang ada di asrama utama. Apalagi hanya ada satu toilet dan satu kamar mandi untuk kami berenam. Sehingga kami perlu antre untuk menggunakannya, terutama di pagi hari. Sedangkan, di asrama utama setiap kamar sudah ada toilet dan kamar mandinya masing-masing.

Kami menuntut dipindahkan ke asrama utama. Tuntutan kami akhirnya dipenuhi walaupun tidak bisa segera terealisasi. Untuk pindah mesti menunggu semester berikutnya saat angkatan di atas kami sudah wisuda. Tetapi, sambil menunggu waktu pindah biaya sewa bulanan kami dipotong separuh.

Dengan teman ateis itu saya sering berbincang-bincang. Adakalanya ia mengajak saya ke kamarnya yang ada di lantai tiga. Kami biasa mengobrol sambil melihat suasana kanal dan perumahan di seberang asrama.

Ia bercerita dirinya adalah keturunan imigran dari Italia.  Sebelumnya ia menjadi relawan Peace Corps yang ditempatkan di Bolivia. Tampaknya dari situ ia banyak tahu bahasa Spanyol.

Lokasi kampus International Institute of Social Studies di Jalan Kortenaerkade, Den Haag. Dok Ahmad Sabiq.

Tempo-tempo ia curhat. Suatu kali ia mengeluhkan biaya pendidikannya.

“Beruntung ya kamu kuliah dengan beasiswa” katanya sambil memamerkan keahliannya melakukan handstand, berdiri terbalik dengan tumpuan pada kedua tangannya.

“Saya ke sini pinjam dana pemerintah lho. Nantinya harus saya cicil  sampai lunas,” lanjutnya sambil melengkungkan tubuhnya ke belakang.

Terkait keateisannya tidak pernah saya singgung. Pengakuannya sebagai ateis yang kafah saya anggap cukup. Artinya ia sudah tak ragu menjadi ateis.

Ia bilang begitu bisa jadi untuk membedakan dengan teman satunya yang mungkin dianggapnya tanggung dalam berkeyakinan. Bisa pula untuk menarik batas dengan mereka yang belum total menjadi ateis. Tidak lagi percaya Tuhan tapi masih takut dengan hantu, misalnya. Saya pun punya teman ateis model ini. Mungkin di masa kecilnya sering dapat dongengan hantu atau di masa remajanya hobi nonton film horor.

Teman Ateis satu asrama saya ini justru kadang-kadang kepo tentang agama. Suatu saat ia bertanya hal ihwal puasa Ramadan. Ternyata ia ingin mengecap rasa berpuasa. Karenanya, ia tak makan dari waktu sahur sampai saat waktu buka. Jadi, sebagai ateis ia bersikap ramah terhadap agama. Terkesan empatik malah. Tak hanya menghormati praktik keagamaan bahkan berupaya turut mengalaminya.

Ia pun peduli terhadap masalah diskriminasi berbasis agama. Kami sebetulnya tidak mempersoalkan layanan bimbingan keagamaan di kampus yang memang hanya menyediakan rohaniwan Katolik dan Kristen. Tapi, baginya itu adalah diskriminasi. Kampus dianggapnya tidak memberikan pelayanan setara. Ia mempertanyakan mengapa untuk pemeluk agama lainnya tidak disediakan layanan, padahal mahasiswa yang kuliah di situ menganut beragam macam agama.

Satu hal lagi yang menarik, ia merasa malu dengan presidennya sendiri, George W Bush. Ia plesetkan sendiri nama presidennya menjadi George War Bush karena kebijakannya yang berstandar ganda dalam memerangi terorisme. Ia menentang invasi Amerika ke Afganistan dan Irak serta dukungan membabibutanya terhadap Israel.

Kami berusaha saling memahami. Ia hormati keyakinan saya.  Saya hormati ketidakyakinannya. Saya tidak pernah mencaci keateisannya. Ia juga tidak pernah mencaci keagamaan saya. Baginya keateisannya, bagi saya keagamaan saya. Pandangan agama saya jelas tentang hal itu.

Kami berbeda secara keyakinan tetapi tidak menghalangi kami menjadi sahabat setara sebagai sesama insan. Sebagaimana kata mutiara Sayyidina Ali yang sudah sangat terkenal, ” mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”

Itulah sekelumit kisah perkawanan dengan teman yang sepenuhnya tak percaya Tuhan. Sikap meniadakan kepercayaan ini mengingatkan saya pada penjelasan seorang instruktur Nilai Dasar Perjuangan (NDP) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Sang instruktur NDP itu menyatakan bahwa jika dimaknai secara positif, ateisme adalah 50 persen jalan menuju percaya pada Tuhan. Sebab, dalam syahadat tauhid (kalimat persaksian yang pertama) terkandung dua unsur: nafi (negasi) dan itsbat (afirmasi).

Itu artinya perkataan “tidak ada tuhan” adalah negasi, sedangkan “selain Allah” adalah afirmasi. Kaum ateis baru sampai pada tahap negasi: meniadakan tuhan-tuhan palsu. Akan tetapi belum sampai pada tahap afirmasi: pengukuhan kepercayaan pada Tuhan yang sebenarnya.

Doa saya, semoga kaum ateis menempuh jalan 100 persen. Setelah membebaskan diri dari semua belenggu kepercayaan semu, mereka segera menyusul dengan menundukkan diri hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, pencipta manusia dan alam semesta. Aamiin.

 

Ahmad Sabiq, M.A.

Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman. Ia mendapatkan gelar Sarjana dari Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM tahun 2000. Gelar MA diperolehnya tahun 2005 dari Institute of Social Studies, The Hague,The Netherlands, kini menjadi International Institute of Social Studies of Erasmus University Rotterdam dengan beasiswa dari IFP Ford Foundation. Ia dapat dihubungi melalui email : ahmad.sabiq@unsoed.ac.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here