Naik Kapal dari Pelabuhan Pemalang ke Jeddah

Perjalanan Haji di Zaman Hindia Belanda

0
Foto ini diduga sebagai kapal uap Voorwaarts. Kapal berbobot 2802 ton inilah yang mengangkut jemaah haji di zaman Hindia Belanda. Dok Facebook Indonesia Tempoe Doeloe

Dulu sekali, mungkin 120 tahun yang lalu, hidup seorang lurah di sekitar Pratin Purbalingga. Pratin dikenal sebagai penghasil sayur mayur di kaki Gunung Slamet perbatasan Purbalingga-Pemalang. Para pendaki Gunung Slamet yang melewati jalur Bambangan pasti akrab dengan daerah ini.

Si lurah dikenal saleh dan kaya. Kabarnya ia sudah dua kali pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Konon ia biasa berangkat naik haji melalui Pelabuhan Pemalang.

Dari Pratin ke Pemalang si lurah selalu menunggang kuda seorang diri. Sebelum naik kapal kuda tersebut ia tambatkan di pelabuhan. Selama ia tak ada si lurah meminta seseorang yang dapat dipercaya untuk menjaga sekaligus merawat kuda itu.

Lima bulan kemudian si lurah pun pulang dari Tanah Suci. Sesampainya di Pelabuhan Pemalang ia segera pergi ke tempat penitipan kuda. Mengambil kuda, membayar sejumlah uang kepada si perawat kuda, dan pulang ke Pratin di kaki Gunung Slamet.

Sampailah cerita ini pada rencana keberangkatan si lurah ke Mekkah untuk ketiga kali. Seperti biasa, ia ke Pemalang menaiki kuda dan menitipkan kuda itu kepada seseorang di pelabuhan. Selanjutnya ia naik kapal menuju Baitullah.

Tapi lima bulan berikutnya si lurah belum juga muncul di Pelabuhan Pemalang. Bahkan setahun berlalu si lurah tak pernah hadir lagi untuk mengambil kuda itu.

Akhirnya, setelah lama tak ada kabar, si penjaga kuda melepas kuda si lurah dari kandang penitipan. Entah bagaimana caranya, kuda tersebut bisa pulang sendiri ke Pratin Purbalingga. Melihat kuda tersebut pulang tanpa membawa sang tuan, semua anggota keluarga meyakini si lurah telah syahid di Mekkah.

Cerita ini saya peroleh dari cicit si lurah tersebut. Sayang sekali di akhir cerita ia tidak bisa menunjukkan lokasi pasti Pelabuhan Pemalang yang dimaksud. Ia hanya menduga-duga.

Mungkin di Tanjungsari, Asemdoyong, atau mungkin muara Sungai Comal? Atau bisa juga di Plawangan. Bukankah masih ada sebagian warga Pemalang percaya bahawa dulunya di Plawangan terdapat pelabuhan besar yang terkenal sejak zaman Majapahit?

Cerita soal keberangkatan si lurah di atas ada baiknya kita konfirmasi melalui catatan sejarah perjalanan haji zaman Hindia Belanda. Misal melalui berita, catatan perjalanan orang-orang zaman dulu, atau hal lain yang mampu memberikan informasi baru.

Iklan perjalanan haji dari Indonesia (Hindia Belanda) ke Jeddah. Iklan ini bertahun 1888. Dok Facebook Indonesia Tempoe Doloe

Baru-baru ini saya menemukan sebuah postingan di grup Facebook Indonesia Tempoe Doloe. Postingan tersebut berupa sebuah foto lawas iklan berbahasa Melayu dari biro perjalanan haji di zaman Hindia Belanda. Biro perjalanan haji tersebut bernama Stoomvaart Maatschappij Nederland (SMN) yang dalam bahasa Indonesia bermakna Perusahaan Kapal Uap Belanda.

SMN menawarkan sebuah perjalanan haji yang nyaman kepada calon Jemaah haji. Perjalanan ke Jeddah (pelabuhan utama di Arab Saudi) akan menggunakan kapal uap bernama Voorwaarts yang beratnya 2802 ton. Untuk bisa naik Voorwaarts setiap orang harus membayar 95 gulden.

Iklan bertahun 1888 itu sangat detil menjelaskan jadwal keberangkatan jemaah haji. Kapal itu akan memulai rute dari Pelabuhan Cilacap-Banyuwangi-Besuki-Probolinggo-Surabaya-Semarang-Pekalongan-Tegal-Cirebon-Indramayu-Betawi-Padang-Jeddah. Perjalanan dari Cilacap ke Jeddah memakan waktu 44 hari.

Dari arsip iklan koran berbahasa Melayu itu kita bisa tarik beberapa kesimpulan. Pertama, perjalanan haji menggunakan kapal memang benar pernah terjadi di zaman Hindia Belanda. Kedua, ada sejumlah pelabuhan di utara Jawa Tengah yang disinggahi kapal uap perusahaan Belanda. Ketiga, Pelabuhan Pemalang tidak tercantum dalam daftar pelabuhan yang dijadikan lokasi penjemputan jemaah haji ke Jeddah.

Tahun perkiraan keberangkatan haji si lurah dengan tahun beroperasinya perusahaan kapal uap Belanda juga tidak berselisih jauh. Saya menduga si lurah memang benar naik kapal dari Pelabuhan Pemalang. Tapi kapal yang ia naiki bukanlah kapal uap melainkan kapal nelayan biasa.

Kapal nelayan itu membawa si lurah ke Pelabuhan Pekalongan atau Pelabuhan Tegal. Nah, dari Pekalongan atau Tegal si lurah baru melanjutkan perjalanan ke Jeddah menggunakan kapal uap seperti yang diceritakan dalam iklan lawas di atas.

Perjalanan si lurah itu masih tetap relevan di zaman sekarang. Bukankah kita sering harus pergi ke Tegal dulu jika ingin naik kereta ke Jakarta. Dari Stasiun Pemalang kita naik kereta kelas ekonomi jalur dekat seperti Kaligung atau Joglokerto. Setelah turun di Stasiun Tegal kemudian membeli tiket kereta lain ke Jakarta.

Di Stasiun Tegal kita bisa memilih sesuka hati kereta api kelas bisnis atau eksekutif juruan Jakarta. Begitu juga saat pulang dari Jakarta. Tidak banyak kereta api kelas bisnis atau eksekutif berhenti di Stasiun Pemalang. Itu artinya kita harus lebih dahulu turun di Stasiun Tegal dan melanjutkan perjalanan ke Pemalang menggunakan kereta lokal kelas ekonomi.

Oemar Said

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here