Bocah-bocah desa generasi sebelum tahun 2000 pasti pernah mendengar istilah “derep”, “bawon”, dan “gampung”. Jelang musim panen padi datang tiga istilah itu pasti banyak dibicarakan oleh orangtua mereka di rumah.
Derep merupakan pekerjaan memanen padi di sawah. Tukang derep kebanyakan tidak punya sawah atau menggarap secuil tanah milik orang-orang kaya yang punya banyak sawah di desa. Tukang derep adalah buruh tani sejati.
Satu hari jelang panen, pemilik sawah biasanya memberi kabar sekaligus meminta bantuan tenaga para tukang derep. Esok harinya berangkatlah tukang derep (laki-laki dan perempuan) ke sawah untuk memanen padi. Mereka membawa topi, cengkrong/sabit, karung (waring), ani-ani, tampah, dan kayu untuk merontokan gabah dari jerami.
Derep berlangsung dari pagi sampai sore. Pekerjaan ini bisa memakan waktu berhari-hari tergantung luas sawah yang akan dipanen. Makin luas sawah makin banyak waktu derep yang dibutuhkan.
Semua tukang derep berlomba memotong jerami dan merontokkan gabah dari jerami. Gabah yang terkumpul kemudian diserahkan kepada pemilik sawah untuk ditimbang. Nantinya ada prosentasi dalam bentuk gabah yang wajib diberikan oleh pemilik sawah kepada tukang derep sebagai imbalan karena sudah membantu proses panen.
Besaran imbalan dalam bentuk gabah inilah yang dikenal sebagai “bawon”. Besaran bawon di setiap daerah berbeda. Ada yang memakai prosentase kwintal ada juga kilogram.
Sekarang kita masuk pada defenisi “gampung”. Gampung merupakan aktivitas mencari sisa-sisa gabah dari jerami setelah panen selesai.
Biasanya tukang derep dan tukang gampung adalah orang yang sama. Tapi biasanya didominasi ibu-ibu. Sebelum gampung mereka tidak perlu meminta izin kepada si pemilik sawah. Semua gabah hasil gampung ini juga tidak perlu dilaporkan ke pemilik sawah. Jadi gabah-gabah sisa panen itu 100 persen akan menjadi hak si tukang gampung.
Derep dan gampung pada dasarnya usaha sederhana untuk menjaga ketahanan pangan keluarga. Tradisi ini bertujuan agar semua orang di desa (punya atau tidak punya sawah) bisa ikut menikmati (rasan) berkah gabah panen.
Gabah hasil derep maupun gampung ini sangat membantu ketersedian pangan warga desa. Makin sering ikut ke sawah akan makin banyak gabah dikumpulkan. Saat butuh beras (baik untuk makan maupun kondangan) gabah-gabah itu bisa dibawa ke tempat penggilingan padi.
Saya masih ingat, warga desa zaman dulu suka memberi sepiring gabah kepada setiap pengemis yang muncul di pintu rumah mereka. Bahkan ibu-ibu tukang derep biasa menggunakan gabah itu sebagai alat pembayaran di warung. Dengan gabah-gabah itu mereka bisa membeli sabun, detergen, shampo, dan lauk pauk.
Zaman Sekarang Susah Mencari Tukang Derep
Kini tukang derep dan tukang gampung sudah sangat langka di desa. Setiap jelang panen para pemilik sawah selalu kesulitan mencari orang-orang yang mau menjadi tukang derep. Akhirnya si pemilik sawah harus nderep sendiri. Kadang dibantu anak serta menantu.
Kebanyakan anak-anak serta menantu pun sudah enggan berpanas-panasan di sawah. Mereka lebih seneng kerja kantoran, merantau, atau kerja apa saja selain bertani. Apalagi kalau anak-anak para pemilik sawah itu sudah sekolah sampai sarjana. Jangankan ikut nderep, lokasi sawah milik orangtuanya pun sudah tak ingat lagi.
Nah, karena sulit mencari tukang derep, pemilik sawah zaman sekarang memilih secepat mungkin menjual padi kepada tukang tebas. Soal bagaimana memanen padi para pemilik sawah akan menyerahkan sepenuhnya kepada tukang tebas tersebut.
Cara itu membuat para pemilik sawah yang sebagaian besar sudah lansia tak perlu lagi kebingungan mencari tukang derep. Mereka juga tak perlu panas-panasan untuk mengawasi proses panen padi. Intinya akan lebih praktis langsung dijual kepada tukang tebas dibanding harus memanen sendiri.
Para pembaca pasti pernah melihat truk atau mobil coak bermuatan belasan bahkan puluhan tukang derep. Mereka adalah “tukang derep profesional” yang direkrut khusus oleh para penebas sawah. Mereka didatangkan langsung ke desa-desa yang akan menggelar panen padi karena sekarang sudah tak ada lagi tukang derep di desa tersebut.
Peret dan Combet
Tukang tebas padi zaman sekarang pun sudah tidak sepenuhnya mengandalkan tangan manusia. Mereka juga membawa mesin perontok gabah (blower/peret) dan mobil pemotong jerami sekaligus perontok gabah (combine harvester biasa disingkat combet).
Combet ini sudah marak digunakan di sawah-sawah Pemalang utara. Sejauh yang saya amati tukang tebas di Pemalang selatan kebanyakan masih dominan menggunakan peret.
Dengan alat-alat canggih itu tukang tebas bisa mendapatkan hasil panen padi lebih banyak. Peret dan combet bisa membuat hampir semua gabah rontok dari jerami. Bahkan combet mampu memotong jerami serta merontokkan gabah dari jerami dalam satu waktu.
Zaman dulu untuk memotong jerami tukang derep hanya bisa menggunakan sabit. Untuk merontokkan gabah-gabah dari jerami itu juga tetap manual. Antara lain injak-injak jerami (ngiles), dipukulkan ke kayu atau batu, bisa juga dipukulkan ke tanah berkali-kali agar semua gabah rontok dari jerami.
Jadi, seperti itulah yang terjadi di sawah-sawah kita hari ini. Generasi zaman now yang enggan ke sawah menjadi penyebab hilangnya tukang derep dari sawah. Sementara mesin pemanen padi pun punya andil besar menggeser pekerjaan tukang derep dan tukang gampung dari sejarah.
Saya masih ingat ibu-ibu tukang gampung zaman dulu. Di pinggir sawah mereka menggelar terpal dan menempatkan tumpukan jerami sisa panen di atasnya. Gampung pun dimulai di bawah terik Matahari.
Aktivitas ngiles itu bisa memakan waktu lebih dari satu jam. Mereka bolak-balik mengambil jerami dan menginjaknya kembali agar sisa-sisa gabah segera rontok dari jerami. Sebelum zuhur mereka baru memutuskan pulang dengan membawa gabah sisa panen yang terkumpul di atas terpal.
Kini, tak mungkin ada lagi tukang gampung di sawah. Mesin-mesin pemanen padi tak menyisakan sedikit pun gabah dari jerami. Karena tak ada sisa gabah itu artinya tak perlu ada lagi ngiles atau gampung.
Suryopranoto