Pada zaman penjajahan Belanda sekolah ini bernama Hollandsch Inlandsch School (HIS). HIS merupakan sekolah dasar untuk anak-anak kalangan pribumi yang proses belajar-mengajarnya menggunakan bahasa Belanda.
Mereka yang bisa mendaftar di HIS hanyalah pribumi kelas elit. Antara lain anak pejabat, kerabat bupati, anak orang terpandang/kaya, dan anak tokoh masyarakat setempat. Konon setiap pendaftar harus punya surat rekomendasi dari pejabat minimal setingkat camat zaman kolonial (asisten wedana).
Pendidikan di HIS berlangsung dalam tujuh tahun. Di sekolah ini anak-anak belajar menulis, menghitung, ilmu hayat atau alam (IPA), ilmu ukur, dan juga sejarah.
Para pengajar/guru HIS berasal dari Belanda dan pribumi. Biaya sekolah selama setahun di sini mencapai 64 gulden. Dipastikan tidak ada anak miskin (meski pintar) bisa sekolah di HIS karena tidak ada beasiswa di sekolah ini.
Para lulusan sekolah ini kebanyakan menjadi pegawai negeri kelas rendah (di bawah camat) di zaman Belanda, pegawai pabrik gula, dan pemimpin pergerakan di zaman kemerdekaan (1945). Dengan kemampuan bahasa Belanda lulusan HIS juga bisa meneruskan ke jenjang sekolah menengah dan tinggi era kolonial, bahkan bisa lanjut sekolah ke Belanda seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka.
Di zaman penjajahan sekolah dasar berbahasa Belanda dibagi dalam tiga kelompok. Europeesch Lagere School (ELS) untuk anak-anak Eropa; Hollandsch Chineesch School (HCS) untuk anak-anak keturunan Tionghoa; HIS untuk anak-anak pribumi.
Kiai Makmur, Bupati Pemalang yang gugur ditembak tentara Belanda di era perang kemerdekaan merupakan contoh lulusan HIS. Kiai Makmur di usia tujuh tahun memulai belajar di HIS Pemalang. Sebagai lulusan HIS tentu saja Kiai Makmur pandai berbahasa Belanda.
Setelah Indonesia Merdeka
Sampai hari ini saya belum punya informasi soal nasib gedung HIS Pemalang di zaman Jepang. Sangat mungkin selama 1942-1945 gedung sekolah ini berubah fungsi karena waktu itu Jepang menutup semua sekolah berbahasa Belanda.
Tapi di masa perang kemerdekaan (1945-1949), lebih tepatnya ketika tentara Belanda menduduki Pemalang, gedung bekas HIS sempat digunakan sebagai markas tentara Belanda. Ada beberapa foto lama yang mengonfirmasi soal ini. Foto-foto tersebut saya peroleh dari seorang pegawai negeri di Kabupaten Pemalang.
Setelah tentara Belanda pergi dari Indonesia, bekas HIS Pemalang kemudian digunakan untuk belajar para calon guru sekolah menengah atas (SMP). Sekolah itu dikenal sebagai sekolah guru atas (SGA). Lama pendidikan SGA adalah tiga tahun.
Untuk bisa masuk SGA seseorang harus memiliki ijazah SMP. Konon di tahun kedua siswa-siswi SGA sudah mendapat ikatan dinas alias calon guru pegawai negeri. Lulusan-lulusan SGA di kemudian hari menjadi guru-guru handal.
SGA beroperasi selama zaman Presiden Soekarno (Orde Lama). Mulai tahun 70-an SGA sudah tak dikenal lagi. SGA kemudian berganti menjadi sekolah pendidikan guru (SPG) Pemalang. Kalau tidak keliru mulai tahun 1972.
SPG bertahan sampai tahun 80-an. Kemudian berdasar informasi dari internet gedung SPG Pemalang beralih fungsi menjadi SMA N 3 Pemalang. Ini terjadi pada tahun 1989.
Belum lama ini, saya mencoba melihat dari dekat gedung SMA N 3 Pemalang. Kalau tidak keliru ada sembilan ruang kelas bergaya Belanda di sekolah ini. Jendela, pintu, atap, dan dinding kelas masih tetap asli.
Dahlan Raflan