Klenteng Tjeng Gie Bio terletak di perbatasan Kabupaten Pemalang-Kabupaten Pekalongan. Jika Anda melaju dari arah barat (Comal) rumah ibadah umat Tridharma (Konghucu, Budha, Taoisme) ini terlihat beberapa meter sebelum jembatan Sungai Sragi.
Secara administrasi Tjeng Gie Bio bagian dari Desa Rowosari Kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang. Tjeng Gie Bio merupakan klenteng sangat bersejarah. Sebuah artikel sejarah desa di website Desa Rowosari (rowosari.desakupemalang.id) menyebut klenteng ini dibangun pada tahun 1738.
Andrianto, penjaga sekaligus pengurus Yayasan Tjeng Gie Bio, mengatakan klenteng tersebut sudah sangat tua. Usianya mungkin sudah mencapai 400 tahun. Menurut dia termasuk klenteng tertua di kabupaten/kota pantai utara (Pantura) barat (Karesidenan Pekalongan).
Andrianto sendiri mengaku bukan warga Rowosari melainkan berasal dari Kecamatan Wiradesa Kabupaten Pekalongan. Tiap hari dari pagi sampai sore ada di klenteng. Dia bersih-bersih Tjeng Gie Bio sekaligus menyiapkan segala sesuatu untuk kegiatan sembahyang. Kegiatan rutin tersebut sudah berjalan selama 25 tahun.
Tjeng Gie Bio di zaman dulu memiliki halaman cukup luas. Tapi kemudian pelebaran jalan Pantura membuat klenteng tersebut tak lagi punya halaman. Jadi, jika berkunjung ke tempat ini Anda harus pintar-pintar mencari tempat parkir di sekitar klenteng.
Artikel yang sama di website Desa Rowosari menyebut halaman klenteng ini di zaman dulu memang biasa digunakan untuk menggelar pertunjukan wayang. Wayang merupakan bagian dari perayaan Imlek komunitas Tionghoa Ulujami tempo dulu.
Orang-orang yang sembahyang di Tjeng Gie Bio berasal dari banyak daerah. Antara lain Tegal, Comal, Pekalongan, dan Semarang. Biasanya sebelum datang sembahyang mereka lebih dulu memberi kabar kepada pihak yayasan.
Bangunan klenteng sendiri terdiri dari dua ruangan. Ruang pertama digunakan untuk kegiatan sembahyang. Ruang kedua berisi lukisan dinding serta sejumlah perabot. Antara lain meja, jam dinding, kursi plastik dan kursi goyang, kipas angin, almari, televisi, dan plank bekas bertuliskan WALUBI Kabupaten Pemalang. Di ruangan ini juga ada toilet.
Seorang pegawai di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pemalang yang pernah melakukan penelitian di klenteng ini menyatakan bangunan Tjeng Gie Bio sudah beberapa kali mengalami perbaikan. Hanya saja, kata dia, tidak ada catatan mengenai kapan serta bagian klenteng mana saja yang sudah direnovasi. Menurut dia klenteng ini sudah terdaftar sebagai cagar budaya di Kabupaten Pemalang.
Jejak sejarah komunitas Tionghoa di Desa Rowosari Ulujami tak hanya klenteng Tjeng Gie Bio. Informasi yang saya dengar di desa ini juga terdapat sebuah pedukuhan bernama Bong. Bong merupakan sebutan kepada tempat atau lokasi pemakaman untuk warga Tionghoa.
Ulujami sendiri sebelum tahun 1824 merupakan bagian dari Kabupaten Pekalongan. Oleh Bupati Pekalongan, daerah penghasil padi, gula, dan nila ini disewakan kepada pengusaha Tionghoa dari Semarang. Nama-nama pengusaha Tionghoa itu antara lain Tan Janko, Tan Lieko, Tan Secko, Tan Jok, dan Tan Tjankong.
Bahkan ada informasi menyebut Ulujami sudah disewakan kepada pengusaha Tionghoa sejak pertama kali Belanda menjajah Indonesia. Itu berarti sejak Abad 17 atau sebelum tahun 1700-an (zaman VOC).
Catatan Belanda melaporkan Ulujami lebih dulu ada atau dikenal dibanding Comal. Bahkan ada penelitian menyebut wilayah yang hari ini dikenal sebagai Comal adalah bagian dari Ulujami. Nama Comal sendiri baru muncul dalam laporan-laporan Belanda setelah di wilayah itu berdiri Pabrik Gula Comal. Ini terjadi tahun 1833.
Sumber bacaan: Di Bawah Asap Pabrik Gula (Masyarakat Desa di Pesisir Jawa Sepanjang Abad Ke-20)
Dahlan Raflan