Raden Toemenggoeng Arjo Rahardjo adalah Bupati Pemalang terakhir era penjajahan (Belanda-Jepang). Buku Riwayat/Sejarah Pemalang terbitan Sekretariat Panitia Hari Jadi ke-435 Kabupaten Pemalang Tahun 2010 menyebut periode pemerintahan Sang Bupati: tahun 1941-1945.
Buku berjudul Rekonstruksi Sejarah Kabupaten Pemalang (Sebuah Studi Penelitian Sejarah Daerah) karya Soetomo WE menulis nama Bupati ini sebagai Kanjeng Rahardjo Soero Adi Koesoemo. Soetomo WE menyebut periode pemerintahan Sang Bupati yakni 1938-1945.
Anton Lucas, sejarawan dari Australia, dalam bukunya yang sangat terkenal, One Soul One Struggle Peristiwa Tiga Daerah, menulis nama Bupati Pemalang sebelum Indonesia merdeka ini sebagai R.T. Raharjo Sosro Adikusumo. Cerita tragis Sang Bupati dan istrinya dalam beberapa bulan setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia ada dalam buku ini.
Jumat 19 Oktober 1945, pukul 3.30 siang (15.30), sebuah bus dari Pabrik Gula Comal tiba di depan Pendapa Kabupaten Pemalang. Bus tersebut mengangkut sekitar 15 pemuda revolusioner yang kemudian berlompatan mengepung pendapa.
Para pengepung dipimpin oleh Sumargo dan Rustamaji. Rustamaji berasal dari Randudongkal sedangkan Sumargo merupakan pemimpin Pabrik Gula Banjardawa.
Rustamaji membawa pistol. Dia menggunakan senjata itu untuk menakut-nakuti Bupati dan Patih yang waktu itu sedang duduk-duduk di pendapa. Sempat terjadi perdebatan antara Bupati dan pimpinan pemuda revolusioner. Tapi akhirnya tak berama lama kemudian para pemuda revolusioner membawa Bupati dan Patih secara paksa dari Pendapa Kabupaten Pemalang.
Para pemuda revolusioner membawa Bupati dan Patih ke penjara tengah kota (sekarang Rutan Pemalang). Kepala Polisi Kabupaten Pemalang dan sejumlah Pangrehpraja (sebutan pegawai negeri zaman penjajahan) juga ada dalam penjara. Dan, satu hari kemudian, yakni tanggal 20 Oktober 1945, para pemuda revolusioner mendaulat seorang tokoh pemuda bernama Supangat sebagai Bupati Pemalang.
Dua bulan kemudian, Kamis 20 Desember 1945, Tentara Keamanan Rakyat (TKR-sekarang TNI) dan Hizbullah (laskar Islam yang dibentuk zaman Jepang seperti halnya PETA) dari Pekalongan menyerbu Pemalang. TKR dan Hizbullah kemudian membebaskan R.T. Raharjo Sosro Adikusumo, Patih, dan Pangrehpraja dari penjara.
TKR dan Hizbullah juga menangkap pemimpin-pemimpin pemuda revolusioner yang menjebloskan para pejabat tinggi Kabupaten Pemalang ke penjara. Tapi Supangat berhasil lolos dari sergapan. Ia lari ke Banyumas/Purwokerto. Esok harinya, Jumat 21 Desember 1945, TKR dan Hizbullah menyerbu Tegal.
Apa yang terjadi di Pemalang, Tegal, Brebes (tiga daerah) dalam dua bulan setelah proklamasi merupakan peristiwa unik dalam sejarah Indonesia. Para pemuda revolusioner memaksa bupati-bupati di tiga daerah turun dari tahta dan menggantinya dengan orang-orang baru. Perebutan kekuasaan ini kemudian terkenal sebagai Peristiwa Tiga Daerah.
Bagaimana nasib R.T. Raharjo Sosro Adikusumo selanjutnya? Apakah dia bisa kembali bertahta di Pendapa Kabupaten Pemalang?
Sejarah mencatat, setelah menguasai keamanan Pemalang, TKR dan Hizbullah justru memilih wajah baru sebagai pemimpin Pemalang. Wajah baru ini terkenal sebagai Kiai Makmur. Ia merupakan tokoh nasionalis sekaligus santri lulusan Hollandsch Inlandsch School (HIS) Pemalang dan Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Jatim.
Ahad 30 Desember 1945, di Alun-alun Pemalang, Kiai Makmur dilantik sebagai Bupati Pemalang. Pelantikan dihadiri ribuan orang dan mendapat pengawalan ekstra ketat dari TKR serta Hizbullah. Hari itu sejarah Bupati Pemalang era kemerdekaan pun dimulai.
Saya belum menemukan informasi soal hari-hari R.T. Raharjo Sosro Adikusumo setelah keluar dari penjara. Buku terkait Peristiwa Tiga Daerah tidak menjelaskan secara detil soal ini. Buku tersebut hanya menyertakan hasil wawancara si penulis dengan istri R.T. Raharjo Sosro Adikusumo. Isi wawancara itu terkait pengalaman sang istri saat mendapati sang suami dibawa oleh pemuda-pemuda revolusioner dan kemudian dijebloskan ke penjara.