Dukuh Duren Desa Kajenengan terkenal sebagai sentra kerajinan anyaman bambu di Tegal selatan. Bagi warga di pedukuhan kecil ini menganyam bambu sudah menjadi semacam keterampilan turun-temurun.
Orang-orang di Dukuh Duren, tua maupun muda, laki-laki ataupun perempuan bisa membuat kedo, cepon, ceting, dan tampah. Bahkan beberapa di antaranya mampu membuat kuda lumping. Di pedukuhan ini kesenian kuda lumping biasa disebut sebagai “jaran ebeg”.
Sampai awal tahun 2000 an produk anyaman bambu Dukuh Duren ramai dipesan dan dibeli orang. Produk anyaman itu biasa digunakan untuk sarana hajatan pernikahan, sukuran khatam Alquran, tahlilan, perayaan Maulid Nabi Muhammad, dan upacara selametan lain.
Pada bulan Maulid, warga desa biasa membawa nasi rames terbaik ke masjid atau musala. Makanan tersebut mereka bawa menggunakan ceting. Ceting itu dikumpulkan di teras masjid atau musala untuk kemudian setelah acara barzanzi selesai dibagikan kepada para jemaah yang hadir. Jadi ada semacam tukar menukar makanan menggunakan ceting.
Khataman Alquran lekat dengan ceting. Biasanya orangtua yang anaknya baru saja menyelesaikan khataman Alquran 30 juz pada seorang guru ngaji, mereka mengirim makanan ke tetangga sekitar dan juga guru ngaji. Paling tidak ada 40 rumah terdekat yang mereka kirimi makanan menggunakan ceting.
Pada acara tahlilan orang-orang desa juga menggunakan ceting. Ceting tersebut dibagikan kepada siapa saja yang hadir pada malam tahlilan. Tentu saja di dalam ceting itu ada nasi dan lauk pauk seperti telur ayam, mie, kacang, gorengan, dan daging ayam. Di beberapa tempat kadang-kadang berupa beras, mie instan, dan telor ayam mentah.
Kini tradisi di atas tak sama lagi. Hampir semua kegiatan yang dulunya menggunakan ceting atau cepon sudah berganti menggunakan plastik. Warga desa kekinian lebih suka menyuguhkan nasi berkat tahlil atau selamatan dalam sebuah ember kecil berbahan plastik. Mereka menilai ember plastik lebih praktis dibanding produk anyaman bambu.
Perubahan ini membuat kegiatan menganyam bambu tak semeriah dulu. Zaman dulu kita mudah melihat deretan orang Dukuh Duren duduk menganyam bambu di halaman rumah ataupun kebun. Sekarang pemandangan seperti itu sangat sulit kita temui.
Intinya orang-orang Dukuh Duren tak semangat lagi membuat kedo, cepon, ataupun ceting. Bahkan anak-anak muda setempat pun tak lagi tertarik menganyam bambu. Mereka lebih memilih menjadi perantau atau kerja apa saja selain menganyam bambu.
Mereka yang bertahan membuat kedo, cepon, atau ceting hanya segelintir kakek-nenek. Kalau kondisi ini dibiarkan kerajinan terun-temurun di Tegal selatan itu bisa punah.
Penulis: Samsul Bahri