Azyumardi Azra. Sebuah nama yang mulai saya kenal di medio ‘90-an melalui seorang senior yang baru mengikuti pelatihan kader HMI tingkat nasional. Ia sangat mengagumi pemikiran Bang Azyumardi yang dalam pelatihan tersebut menjadi salah satu instrukturnya. Sebagai kader baru, saat itu saya turut bangga walaupun hanya mendapat tempias gagasannya lewat penuturan para kakanda. Apalagi ia memang kader tulen HMI, pernah bergiat dan berproses di himpunan bahkan menjadi Ketua Umum HMI Cabang Ciputat.
Sebagai pengagum sosoknya beberapa kali saya membaca tulisannya di Jurnal “Ulumul Quran” saat bertandang ke Perpustakaan Kolese St. Ignatius Yogyakarta. Meskipun waktu itu saya belum mampu mencerna dengan baik apa yang ditulisnya, ada kesan kuat yang muncul dalam pikiran saya bahwa ia adalah cendekiawan yang rasional, modern, dan inklusif.
Suatu kali saya sempat mengikuti sebuah diskusi yang diselenggarakan MASIKA ICMI yang mengundangnya sebagai pembicara. Pembawaannya tenang dan bahkan penyampaiannya datar-datar saja. Ia bukan tipe pembicara yang meledak-ledak. Kata-katanya sangat terukur. Satu hal yang saya ingat dari diskusi itu adalah kritiknya yang sangat keras terhadap ummat Islam, suatu kritik from within. Ia menyoroti sebagian segmen ummat yang anti dialog, merasa benar sendiri dan mempunyai kecenderungan mengkafirkan kelompok lainnya serta dalam aksi-aksinya sering disertai dengan kekerasan.
Namun demikian, ia juga kritis terhadap pandangan tipikal kalangan Barat yang menghakimi Islam secara sembarangan. Ia menolak pandangan orientalis dan aktivis sayap kanan di Barat yang menilai Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Pandangan-pandangannya tentang hal ini sangat terlihat dari komentar dan artikelnya di media massa. Saya adalah salah satu pembaca setia tulisannya di Kolom “Resonansi” Republika. Di antara tulisannya yang masih saya simpan adalah artikel yang berjudul “Van Dam dan Demokrasi”. Melalui tulisan itu sikapnya sebagai intelektual cum aktivis muslim sangat terasa. Ia membela Islam atas stigma negatif yang sering dilekatkan kepada agama ini dengan cara obyektif.
Menurutnya, munculnya kediktatoran di negeri-negeri muslim adalah satu hal yang nyata, tetapi hal yang sama berlangsung pula di negeri-negeri Barat. Secara khusus, ia menyitir pendapat Van Dam, mantan Duta Besar Belanda di Indonesia, yang menyatakan tiga kediktatoran paling merusak peradaban manusia justru memancar dari dalam Eropa. Nazisme Jerman, fasisme Italia, dan falangist Spanyol beroperasi dalam masyarakat berpenduduk mayoritas non muslim dan di saat tersebut cukup relijius.

Kemudian, dalam sebuah sidang disertasi, Azyumardi tampaknya juga gerah terhadap asumsi-asumsi yang begitu mudahnya menempelkan label intoleran kepada kalangan Islam. Seolah-olah mereka yang di luar kalangan Islam sudah berada pada jalur toleransi, padahal praktik intoleransinya terang benderang.
Sekilas pandangannya terlihat apologetik, akan tetapi sejatinya mengandung hal faktual dan substansial. Ia hanya ingin mendudukan persoalan secara proporsional. Pertama, ia mengingatkan kita bahwa persoalan-persoalan yang berkaitan dengan demokrasi dan kediktatoran serta dalam kasus khusus intoleransi haruslah dilihat secara jernih. Tidak boleh menggunakan sweeping generalization alias generalisasi yang gebyah uyah. Bukankah ada banyak negara dengan mayoritas penduduk muslim, termasuk Indonesia, menerapkan demokrasi? Bukankah sikap intoleran ada dan berlangsung di semua ummat? Bila ada sebagian segmen ummat yang berlaku intoleran tentu tak benar apabila ummat tersebut secara keseluruhan dilabeli intoleran.
Kedua, ia ingin menyampaikan bahwa tidak ada hubungan khusus antara agama dengan demokrasi. Artinya Islam dan agama-agama lain bisa berjalan beriringan dengan demokrasi atau sebaliknya, bertabrakan arah. Adapun hal yang lebih penting baginya adalah menjaga kelangsungan demokrasi. Dalam “Islam dan dan Demokrasi di Indonesia”, artikel lainnya di Republika, ia kembali mengutip pandangan Van Dam yang menegaskan bahwa kelangsungan demokrasi bukanlah sesuatu yang sudah selesai. Tampaknya ia ingin mengatakan kelangsungan demokrasi menuntut kesediaan kita untuk gigih dan konsekuen dalam menjalankannya. Praktik intoleransi dalam pandangannya merupakan buah dari penegakan hukum yang tidak konsisten. Karenanya, demokrasi haruslah dijaga kelangsungannya dengan menjadikannya sebagai “the only game in town”.
Secara pribadi, saya pertama kali bisa bertemu dan berjabat tangan dengannya pada acara motivasi pengembangan diri bagi para penerima beasiswa studi keluar negeri IFP yang sedang menjalani pre-academic training di PPB UI. Ternyata salah satu tim panel nasional penyeleksi beasiswa kami adalah Bang Azyumardi. Ia dihadirkan bersama sejumlah anggota tim panel lainnya. Di antara yang masih saya ingat adalah Pak Daniel Dhakidae.
Setahun kemudian saya berjumpa lagi dengannya saat saya sudah berada di Belanda. Bang Azyumardi mendapat undangan untuk mengisi seminar di negeri kincir angin ini. Saat itu bulan Ramadan, oleh KBRI ia diminta mengisi ceramah tarawih. Saya sengaja hadir. Ekspektasi saya, ia akan berbicara mengenai tema-tema pemikiran Islam sebagaimana yang selama ini ia tekuni. Dalam kenyataannya, yang ia sampaikan malah tentang kebutuhan penguasaan sains dan teknologi bagi ummat. Menurutnya, ummat sangat tertinggal jauh dalam penguasaan sains dan teknologi. Selama ini hanya menjadi konsumen dan bukan produsen teknologi. Jika Bangsa Indonesia ingin maju mestilah memperkuat sektor ini. Mungkin itu pula yang membuatnya mentransformasikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) agar keislaman tidak terpisahkan dari perkembangan sains dan teknologi.
Tak dinyana sewindu kemudian kami bertemu kembali. Kali ini pada suatu konferensi internasional di Beijing. Konferensi yang diselenggarakan di Peking University ini dihadiri pula oleh Dr. Yudi Latif. Selama tiga hari konferensi, kami menginap di hotel yang sama. Sehingga kami bertiga sering runtang-runtung bersama ketika pergi dan pulang dari lokasi konferensi. Termasuk saat mendaki tangga Tembok Besar yang merupakan salah satu keajaiban dunia itu, meskipun hanya saya yang nekat sampai ke puncaknya.

Selama berinteraksi di Beijing hal yang saya teladani darinya adalah sikap rendah hati. Walau dalam posisi sebagai cendekiawan papan atas ia tidak sombong dan tinggi hati. Selain itu, ia memiliki sikap kehati-hatian yang tinggi dalam beragama. Dalam konferensi itu panitia sudah menyediakan konsumsi ala buffet. Tetapi ia lebih senang mengajak kami ke Kantin “Tong Yuan” di dalam komplek kampus Peking University yang sudah jelas kehalalannya.Di salah satu sudut dindingnya ada kaligrafi Arab bertuliskan “Al-Math’am Al Islami”, yang artinya restoran Islam.
Ia yang tampak serius rupanya bisa pula berseloroh. Salah satu kehebatan bahasa Indonesia ujarnya adalah kemampuannya dalam mempersatukan bangsa. Ia yang berasal dari Minangkabau dapat bersatu dengan mojang Sunda melalui bahasa Indonesia. Tetapi dampaknya, anak-anaknya hanya bisa bahasa Indonesia. Tidak ada yang bisa bahasa Minang maupun bahasa Sunda.
Ahad, 18 September 2022, Bang Azyumardi berpulang ke haribaan-Nya dalam suatu perjalanan fi sabilillah, untuk berbagi ilmu di Malaysia. Ucapan duka mengalir dari berbagai kalangan sebagai ekspresi kehilangan mendalam atas kepergiannya dan sekaligus pengakuan atas sosoknya sebagai cendekiawan terkemuka.
Selamat jalan Bang. Perjumpaan-perjumpaan kita akan selalu saya kenang. Memang kita tak lagi punya kesempatan bersua. Tetapi tulisan-tulisan Abang masih tetap dapat saya jumpa. Karya-karya itu akan terus hidup sebagai amal yang terus mengalirkan pahala.
Inna lillahi wainna ilaihi roji’un.
Allohu yarhamuka wayaghfiru laka wayarzuqukal jannata tajri min tahtihal anhar. Aamiin.
Ahmad Sabiq
Pengajar Ilmu Politik FISIP Unsoed Purwokerto