Harian Radar Tegal edisi Jumat 16 Mei 2025

Sabtu 10 Mei 2025 komunitas Politics Historical Discourse (PHD) menggelar diskusi sejarah lokal di Pemalang. Beberapa hari jelang acara mereka membuat dan menyebarkan poster bertulisakan: Jejak Tentara Hizbullah di Moga. Tentara Hizbullah adalah laskar militer yang dibentuk oleh organisasi Islam Masyumi pada tahun 1944-1945 (zaman penjajahan Jepang).

Diskusi dibuka dengan kisah seorang Tentara Hizbullah bernama Abdul Jamil. Dia lahir pada 6 November 1922 di Desa Kalimas Kecamatan Randudongkal.  Konon, orang ini pernah terlibat dalam rangkaian perang gerilya melawan pasukan Belanda di Pemalang selatan, khususnya Kecamatan Moga.

Santri Buntet Cirebon

Tahun 1935, umur 13 tahun, Abdul Jamil pergi menuntut ilmu ke Pondok Pesantren Buntet Cirebon. Di pondok tersebut dia dikenal cerdas sehingga disayang oleh guru-guru.

Saat tentara Jepang masuk ke Cirebon (1942), Abdul Jamil sudah tergolong santri senior di Buntet. Sangat wajar ketika dua tahun kemudian, ketika ada intruksi pembentukan Tentara Hizbullah (1944), dia dipilih oleh para kiai untuk mewakili Buntet.

Buku-buku sejarah resmi menyebut latihan militer pertama Tentara Hizbullah berjalan selama tiga bulan di Cibatu Bogor (ada juga yang menulis Cibarasua Bogor). Latihan militer berlangsung pada November-Desember 1944 dan Januari 1945. Sebanyak 500 santri dari Jawa dan Madura menjadi peserta latihan militer ini.

Gambaran bagaimana santri-santri terbaik ini dikirim oleh guru-guru mereka ke Cibatu Bogor untuk latihan militer secara apik bisa ditonton di film Sang Kiai. Di film tersebut ada adegan bagaimana KH Hasyim Asyari (Ketua Masyumi sekaligus NU) memerintahkan KH Wahid Hasyim untuk segera membentuk Tentara Hizbullah. Kemudian ada sebuah adegan ratusan santri Tebu Ireng Jombang menggunakan kereta api pergi ke Cibatu Bogor untuk berlatih memanggul senjata.

Selain kemampuan militer modern ala Jepang, para santri juga belajar kanuragan, ilmu kebatinan, dan ilmu kebal senjata. Anak-anak pondok pesantren mengenalnya sebagai “suwuk”. Sampai sekarang “suwuk” masih tetap lestari di beberapa pondok pesantren.

Menurut beberapa sumber sejarah, setelah latihan militer selesai, semua santri diperintahkan oleh kiai-kiai untuk pulang ke daerah masing-masing. Di desa mereka melatih pemuda-pemuda yang kebanyakan juga santri dan mengorganisirnya menjadi laskar bersenjata bambu runcing.

Laskar-laskar ini banyak terlibat di sejumlah Perang Kemerdekaan. Perang paling monomuntal ialah Perang 10 November 1945 di Surabaya. Konon, para pembunuh Mallaby, Jenderal tentara Sekutu, adalah Tentara Hizbullah.

Pemalang Selatan Medan Gerilya

Abdul Jamil baru pulang ke Pemalang beberapa bulan setelah Indonesia merdeka. Kemungkinan karena waktu itu tersiar kabar tentara Belanda dan Sekutu akan kembali datang untuk menjajah Indonesia. Para kiai memerintahkan Abdul Jamil untuk kembali ke desa dan bersiap-siap berjihad mempertahankan kemerdekaan.

Pertengahan Juli 1947 tentara Belanda masuk ke Pemalang. Mereka bergerak menguasai kantor-kantor pemerintahan dan pabrik gula. Pegawai-pegawai pemerintah yang memilih setia kepada Republik Indonesia terpaksa menyingkir. Mereka mengungsi sekaligus bergerilya ke hutan-hutan di wilayah Pemalang selatan. Bupati Pemalang waktu itu, Kiai Makmur, pun ikut bergerilya.

Pemalang selatan jadi medan gerilya melawan penjajah Belanda. Sejumlah pertempuran terjadi di Bantarbolang, Watukumpul, Belik, Pulosari, dan Moga. Pertempuran ini melibatkan tentara resmi (TNI) maupun laskar-laskar pejuang seperti Hizbullah.

Abdul Jamil bergerilya di perbukitan Desa Pepedan Kecamatan Moga. Ini merupakan perintah langsung dari Komandan Hizbullah Kabupaten Pemalang, Syaban Zuhdi.

Abdul Jamil pernah mengganggu patroli tentara Belanda saat melintas di Desa Wangkelang. Dia juga ikut bertempur di sekitar Bukit Gambangan Banyumudal. Di medan gerilya dia bersenjata bambu runcing yang kabarnya pemberian langsung dari Syaban Zuhdi.

Konon, Abdul Jamil pernah berhasil menumpas tiga tentara Belanda. Jasad tiga tentara Belanda itu kemudian dikubur di Desa Pepedan. Lokasi kuburan ada di dekat pintu air Bendungan Welut Putih. Tapi, saat ini tiga kuburan Belanda tersebut sudah tidak ada karena dirusak atau dibongkar.

Kiai Terkenal

Perang gerilya melawan Belanda selesai pada 1949. Abdul Jamil pulang ke Desa Kalimas menjadi guru ngaji dan berdakwah. Tahun 1952 dia kembali ke Desa Pepedan untuk melamar seorang gadis yang pernah ditemuinya di zaman gerilya. Gadis itu bernama Sumarni.

Setelah menikah Abdul Jamil memilih tinggal di Desa Pepedan. Dia menjadi kiai terkanal. Biasa mengisi berbagai pengajian di desa-desa Kecamatan Moga, Pulosari, Belik, Randudongkal, dan Watukumpul.

Tahun 2004 Abdul Jamil meningga dunia. Dia tidak mewariskan dokumen ataupun cacatan penting zaman perang. Keluarga hanya menemukan baju, peci, serta sarung putih yang biasa almarhum pakai setiap kali berdakwah.

Semua informasi di tulisan ini berasal dari Imam Dahlizi. Dia mengaku sebagai cucu dari Abdul Jamil. Dia mengatakan semua informasi ini bersumber dari wawancara dengan keluarga serta orang-orang yang pernah mengenal Sang Kakek.

 

Catatan: tulisan ini pernah dimuat di harian Radar Tegal edisi Jumat 16 Mei 2025

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here