Bukit Lunggi atau yang lebih populer dengan nama Candi Lunggi telah lama dikenal oleh masyarakat Pemalang selatan dan sekitarnya. Candi Lunggi merupakan kawasan perbukitan yang terletak di tengah hutan pinus milik Perhutani KPH Pekalongan Barat dan secara administratif masuk dalam wilayah Desa Plakaran Kecamatan Moga Kabupaten Pemalang. Nama Lunggi sendiri sering dikaitkan nama kata lungguh yang artinya duduk (bermukim). Jadi nama lunggi memiliki relasi dengan tanah lungguh atau tanah apanage.
Tanah lungguh adalah sebidang tanah yang diberikan kepada pamong aparat desa, sebagai pengganti gaji atau tunjangan jabatan. Tanah ini biasanya berupa tanah pertanian atau perkebunan yang hasilnya bisa dimanfaatkan oleh penerima. Menurut Suhartono dalam buku Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920″ sistem apanage adalah suatu konsep dimana para perangkat pejabat atau saudara terdekat penguasa (priyayi/bangsawan) yang membantu dalam pemerintahanya mendapat imbalan tanah sebagai penghargaan upah atau gaji. Tanah ini dapat di eksploitasi sehingga menghasilkan pajak, yang kemudian disebut tanah apanage (Suhartono, 1991).
Candi Lunggi merupakan kawasan perbukitan yang memiliki panorama yang indah. Namun orang tertarik mengunjungi tempat ini bukan ingin melihat keindahan panoramanya, tetapi lebih kepada mencari nilai-nilai spiritualitas kehidupan dengan cara berziarah dan bertapa sebagai upaya untuk mencapai kekuatan atau pencerahan spiritual melalui penyangkalan diri dan pengasingan dari dunia. Para pengunjung yang datang ke tempat ini kebanyakan datang dari wilayah Pemalang maupun daerah-daerah lain seperti Pekalongan dan Cirebon.
Menurut K.H. Muchtarom (almarhum) seorang tokoh agama di Desa Plakaran, konon Mbah Nur bin Durya sebelum disebut sebagai tokoh spritual (wali), pernah melakukan pertapaan selama 40 hari di Candi Lunggi, maka tak aneh ketika para pengunjung dan para peziarah dari Makam Mbah Nur juga melanjutkan ziarahnya ke Candi Lunggi.
Eksistensi dan Asal usul Candi Lunggi
Fokus dari dari penulisan ini bertujuan ingin mengungkapkan bagaimana eksistensi Candi Lunggi dikaitkan dengan sejarah terbentuknya Dusun Limbangan, beserta tokoh-tokoh pendirinya dari aspek kesejarahannya. Dalam melakukan penulisan sejarah Candi Lunggi dan Limbangan terlebih dahulu penulis melakukan pengumpulan informasi atau pengumpulan sumber untuk penelitian sejarah, baik sumber primer dan sumber sekunder.
Sumber primer adalah proses pengumulan informasi secara langsung tanpa perantara seperti wawancara kepada saksi mata suatu peristiwa sejarah, prasasti, naskah kuno dan lain lain. Sumber sekunder adalah proses pengumulan informasi secara tidak langsung melalui media kabar, buku, jurnal atau majalah.
Dari sumber primer, seperti naskah kuno maupun prasasti yang terdapat di Candi Lunggi sebagai sumber arkeologis yang ditemukan di sekitar candi seperti batu yang menyerupai nisan di Bukit Lunggi tidak bisa membantu menunjukan adanya bukti artefak peninggalan sejarah masyarakat Limbangan. Pada tahun 2021, Agustijanto Inderajaya seorang arkeolog dari Pusat Penelitian Balai Arkeologi Nasional pernah melakukan penelitian awal tentang situs tersebut. Kesimpulan dari hasil penelitian tersebut ternyata tidak ditemukan bentuk artefak. Batu-batu yang yang ada di sekitar candi hanyalah batuan alam biasa yang bukan buatan manusia yang memiliki nilai sejarah. Dengan demikian tidak adanya bukti arkeologis yang telah diteliti para arkeolog tidak bisa dijadikan sebagai sumber primer.
Satu-satunya informasi tentang kapan berdirinya Candi Lunggi dan Dusun Limbangan, sumber yang tersedia hanya mengandalkan sumber lisan yang berasal dari tradisi lisan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Limbangan. Sayangnya banyak pelaku sejarah yang mengetahui asal-usul Candi Lunggi dan Dusun Limbangan banyak yang telah meninggal dunia.
Penulisan Sejarah tentang awal mula Candi Lunggi dan siapa tokoh yang mendirikan Dusun Limbangan satu-satunya nara sumber yang masih hidup dan bisa menjelaskan tentang cikal bakal Candi Lunggi dan Dusun Limbangan hanya Mukhalil Akbar. Mukhalil Akbar adalah generasi kelima dari keturunan pendiri Limbangan menuturkan bahwa Candi Lunggi adalah merupakan sebuah petilasan dari para prajurit Mataram atau Majapahit yang singgah dan bermusyawarah di lokasi tersebut.
Menurut Mukhalil Akbar, Candi Lunggi merupakan lebih petilasan yang dikeramatkan. Masyarakat setempat juga mempercayai bahwa tempat tersebut memiliki kaitan dengan cikal bakal sejarah pembentukan desanya. Di atas bukit Lunggi terdapat bebatuan lama yang tertata rapi dan menyerupai pemakaman. Pada area situs budaya Candi Lunggi, terdapat dua kluster petilasan, yaitu Lunggi di bagian timur dan di bagian barat. Petilasan tersebut menyerupai makam yang berada di dibawah pohon beringin. Masyarakat sekitar menyebut klaster tersebut sebagai petilasan Ki Mangkunegara dan Ki Sokanegara. Objek tersebut pepohonan besar di sisi utara petilasan.
Mengenai kapan mulainya Candi Lunggi mulai dikunjungi para peziarah, tidak ada catatan pasti. Namun menurut penuturan Mukhalil Akbar, bahwa pada peristiwa meletusnya pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965, Lunggi sudah dijadikan tempat pertapaan bagi masyarakat Plakaran dan sekitarnya.
Seiring dengan semakin banyaknya pengunjung yang melakukan pertapaan di Lunggi, seorang warga Desa Plakaran yang bernama Nasir mendirikan gubuk di sekitar Candi dan dijadikan tempat tinggal bersama keluarganya. Nasir mengukuhkan dirinya sebagai juru kunci Candi Lunggi sebelum digantikan oleh anaknya.
Dusun Limbangan
Nama Dusun Limbangan menurut cerita para orang tua terkait erat dengan tokoh Candi Lunggi. Dikisahkan bahwa awal mula nama Limbangan berasal dari persinggahan para prajurit yang bermusyawarah di Candi Lunggi. Dalam melakukan musyawarah para prajurit menimbang-nimbang aspek strategi perjalanan selanjutnya. Maka kata dengan menimbang-nimbang nama lokasi di daerah ini dinamakan Limbangan.
Namun versi lain juga mengungkapkan bahwa istilah Lunggi lebih merujuk pada kata lungguh atau tanah lungguh. Maksum seorang pensiunan Guru SDN 02 Plakaran yang juga tokoh pendidik sekaligus cicit dari Wangsa (trah) Kasa ketika masih hidup mengisahkan bahwa cikal bakal masyarakat Limbangan berasal dari Desa Mejingklak Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga.
Kisah ini dibuktikan dengan hubungan dagang antara para pedagang dari Mejingklak dengan Masyarakat Limbangan. Pada tahun 1980 an beberapa pedagang gerabah dari Mejingklak masih menjalin hubungan dagang dengan penduduk Limbangan. Menurut penuturan Maksum, Kasa adalah seorang petani imigran yang berkelana ke daerah utara Gunung Slamet. Di daerah utara Gunung Slamet ini Kasa menemukan tanah yang luas untuk bercocok tanam.
Kebetulan lahan yang luas ini belum ada penduduk yang mendiami kawasan tersebut. Lama kelamaan kawasan yang dilungguhi (didiami) untuk pemukiman dan membentuk sistem teritorial dengan sebutan pedukuhan. Pedukuhan di sini belum mengenal sistem administratif dan batas territorial. Kasa sebagai sesepuh atau orang yang ditokohkan akhirnya diangkat sebagai kepala dukuh.
Kasa memiliki dua anak yaitu Samin dan Abdul Kodir. Setelah Kasa wafat, Samin sebagai anak tertua ditunjuk menggantikan ayahnya dan diangkat menjadi lurah desa. Sedangkan adiknya Abdul Kodir lebih senang menekuni agama dan belajar menimba ilmu agama ke beberapa pesantren di Cirebon.
Nama-nama Kepala Desa Plakaran dari Masa ke Masa
- Samin Kepala Desa Plakaran Periode ….. – .….
- Suramiharjo Kepala Desa Plakaran Tahun ….. – 1975
- Imron Rosyidi Kepala Desa Plakaran Tahun 1975 – 1990
- Kusnadi Kepala Desa Plakaran Tahun 1992-2001
- Gustomi Kepala Desa Plakaran Tahun 2001 -2014
- Nur Laela Kepala Desa Plakaran Tahun 2014 – sekarang
Referensi :
- Abdullah Taufik, et al, 1985 Ilmu Sejarah dan Historiografi Jakarta, PT Gramedia
- Wawancara dengan K.H. Muchtarom 1999
- Wawancara dengan Maksum 2001
- Wawancara dengan Mukhalil Akbar
Slamet Efendi MF
Catatan: tulisan ini juga pernah terbit di g-news.com