
Banyak dari warga Pemalang yang belum tahu atau bahkan belum pernah mendengar nama Kiai Achid, seorang ulama sekaligus pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.
Achid kecil lahir di Dukuh Basuruan, Desa Kajen, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal pada tahun 1905. Ayahnya, KH. Mustahid, dan ibunya, Nyai Azkiyah, keduanya adalah guru ngaji di kampungnya. Sejak kecil Achid digembleng ilmu agama oleh kedua orangtuanya.
Pada tahun 1919 Achid dikirim ke Pondok Pesantren Tebuireng asuhan Hadratussyaikh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari, seorang ulama besar bergelar pahlawan nasional dan merupakan pendiri sekaligus Rais Akbar (pimpinan tertinggi pertama) Nahdlatul Ulama.
Di tahun 1923 saat usianya baru menginjak 18 tahun, Achid dinikahkan dengan Rodliyah, gadis asal Desa Banyumudal, Moga, Pemalang, yang merupakan anak dari kerabat ayahnya. Akad nikah dilangsungkan di Tebuireng dan yang menikahkah Kiai Ma’shum Ali, menantu Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari.
Tahun 1926, Achid bersama istrinya pulang ke Pemalang dan menetap di Dukuh Simadu Desa Banyumudal Kecamatan Moga. Sejak itulah Achid mulai berdakwah di Moga. Ia “mulang ngaji” di Mushola yang dibangun oleh mertuanya.
Pada tahun 1932 Achid bersama sahabatnya Kiai Rifa’i menggelar pengajian (tabligh) bertempat di rumah H. Mashudin di Gamprit Moga. Pengajian inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Muhammadiyah di Moga Pemalang. Tidak hanya mengajar dan berdakwah, Achid juga menjadi anggota Laskar Hizbullah bentukan KH. Wahid Hasyim, ayahnya Gus Dur.
Tahun 1948, bertepatan dengan Agresi Militer Belanda jilid 2, Achid menjadi sasaran target penjajah. Dalam pengejaran Belanda, ia pernah dibrondong tembakan saat mandi di Sungai Klawing di Dusun Danareja daerah Purbalingga. Saat itu orang-orang mengira Achid sudah mati tertembak dan hanyut terbawa air sungai. Padahal ia selamat.
Pasca berakhirnya Agresi Militer Belanda 2, Achid ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh Pemerintahan Sukarno tanpa proses pengadilan. Ia dituduh sebagai salah satu anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Ia dipenjara selama 1 tahun di Pekalongan, lalu dipenjarakan lagi di Nusakambangan selama 6,5 tahun.
Menariknya, Kiai Wahid Hasyim, ayahnya Gus Dur, pernah berkunjung dan menginap di rumah Kiai Achid. Saat itu Kiai Wahid masih menjabat sebagai Menteri Agama. Terlebih lagi, putra Kiai Achid yakni Ghozie Achid, saat kecil pernah diasuh oleh Wasriah. Dan Kiai Wahid Hasyim meminta Wasriah untuk mengasuh anaknya (Gus Dur) juga. Akhirnya Wasriah pun dibawa ke Jakarta untuk mengasuh anak-anaknya Kiai Wahid Hasyim.
Seluruh cerita ini didedahkan langsung oleh putra Kiai Achid, KH. Ghozie Achid, di acara diskusi sejarah yang digelar oleh forum kajian Politics and Historical Discourse (PHD), Minggu 22 Juni 2025 di Sekretariat PHD, Banyumudal, Moga.
Akromi