Diskusi sejarah yang digelar oleh forum kajian Politics and Historical Discourse (PHD), Senin, 21 Juli 2025, di Teras Gereja Kristen Jawa Moga.

Gereja Kristen Jawa (GKJ) Moga, Pemalang, Jawa Tengah, memiliki sejarah yang kaya dan panjang. Menariknya, Gereja ini berdiri kokoh di Desa Moga yang notabene masyarakatnya dikenal memiliki tradisi kebudayaan Islam yang kuat bahkan disebut sebagai “Serambi Mekahnya” Pemalang. Dalam bahasa guyonan atau candaan, sebutan “Serambi Mekah” dikaitkan juga dengan preferensi politik mayoritas masyarakat Moga dengan partai politik yang berazaskan Islam dan berlambangkan Ka’bah.

Pembangunan Gereja

Tidak ada catatan yang menyebutkan kapan persisnya GKJ Moga dibangun. Diperkirakan dibangun sekitar tahun 1900-an. Sementara yang tercatat adalah sejak tahun 1911, Gereja Moga telah melaksanakan pengajaran katekisasi, baptisan, sidi, dan pelayanan pernikahan, yang dilayani oleh pendeta-pendeta berkebangsaan Belanda. Pasca kemerdekaan hingga saat ini sudah ada tiga pendeta yang melayani di GKJ Moga. Pendeta pertama yaitu Markham Kephas (1949-1971), dilanjutkan oleh Indharto (1975-2006), dan yang ketiga pendeta Trombin Naftaliyus (2011-sekarang).

Corak Kekristenan

Berdirinya GKJ Moga tidak bisa dilepaskan dari sosok yang melegenda Kiai Sadrach Soeropranoto. Meskipun bergelar kiai, Sadrach merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam misi menyebarkan ajaran Kristen alias penginjil di tanah Jawa.

Kiai Sadrach lahir dengan nama Radin di Purworejo sekitar tahun 1835. Tokoh ini berasal dari keluarga Islam Jawa di Kawedanan Jepara. Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah umum dan mengikuti berbagai pesantren di Jawa Timur, dia menetap di daerah kauman di Semarang. Di sana, dia menambahkan nama Arab ke namanya, menjadi Radin Abas. Kiai Sadrach diketahui meninggal pada 14 November 1924. Adapun, ciri dari ajaran kekristenan Kiai Sadrach adalah memadukan antara kekristenan dengan budaya Jawa (sinkretisme).

Dalam catatan S Kartosoegondo, seorang tokoh yang populer di kalangan Gereja Jawa Tengah Utara (GKJTU) Pemalang, disebutkan bahwa Kiai Sadrach mempunyai murid di Dusun Kandang Gotong Desa Belik bernama Kariman Kartowijoyo, yang tidak lain adalah ayah dari Kartosoegondo. Dalam catatan itu disebutkan juga bahwa di Dusun Kandang Gotong dulunya ada gereja yang dirintis oleh Kariman Kartowijoyo bersama istrinya Midah Wongsotikromo (tentunya tidak hanya mereka berdua, namun tidak disebut dalam catatan). Jadi, asal muasalnya ada tiga kelompok jemaat di Pemalang, yaitu di Kandang Gotong, Pulosari, dan Moga. Singkatnya, mereka para jemaat generasi awal di Pemalang hadir ke Pemalang –karena asal mereka memang dari Pemalang –mulanya berguru di Karangjoso Purworejo kemudian pulang ke Pemalang mengajak dan menyebarkan Kristen di Pemalang.

Dalam perjalanannya, terjadi pertentangan antara Kiai Sadrach dengan misionaris dari Belanda. Misionaris Belanda menganggap ajaran kristen yang dibawa oleh Kiai Sadrach bukan ajaran kristen yang murni karena sudah terkontaminasi dengan budaya Jawa. Kristen yang murni (sejatinya) adalah yang dibawa oleh misionaris dari Belanda. Kala itu, seluruh wilayah Jawa tengah adalah tempatnya para misionaris dari Belanda yang berasal dari gereja-gereja yang karakteristiknya sama.

Dengan segala dinamikanya, pada tahun 1904 pemerintah Hindia Belanda memfasilitasi sekaligus mengatur pembagian wilayah untuk para misionaris. Karena ada permintaan dari gereja-gereja di Jerman, akhirnya Jawa dibelah menjadi dua: daerah Utara Jawa atau Pantura diberikan kepada misionaris dari Jerman, sedangkan wilayah selatan diberikan kepada misionaris Belanda.

GKJ Moga sendiri merupakan hasil pengasuhan dan penginjilan yang dilakukan oleh Salatiga Zending, sebuah lembaga zending Jerman (Neukirchener Mission) yang berpusat di Salatiga, pada awal abad ke-20. Dari catatan yang tertulis, Salatiga Zending masuk ke wilayah selatan setelah mendapat restu dari pemerintah kolonial pada tahun 1910. Namun di catatan yang terdokumentasi di GKJ Moga, pada tanggal 1 April 1917 baru ada satu misionaris dari Jerman yang diutus ke Moga, yaitu pendeta F Schneider. Ia hanya satu tahun bertugas di Moga, sampai 31 Agustus 1918.

Misi Kemanusiaan

Pada tahun 1925 tercatat ada misionaris baru yang diutus ke Moga, yaitu Paul Kroch. Ia bersama istrinya Martha Kroch bertugas di Moga dari tahun 1925-1934. Selain itu juga tercatat tanpa angka tahun, yaitu pdt. Von Banszeimer, dan pdt. Schward. Mereka bersama keluarga meninggalkan kemapanan, kemoderenan di Jerman demi misi yang diembannya: kemanusiaan. Ya, kemanusiaan bukan mencari orang untuk diajak ke gereja, karena dalam misi tersebut juga terdapat perawat kesehatan dan guru.

Misi kemanusiaan tersebut terlacak dengan jelas dari adanya fasilitas pendidikan dan kesehatan di sekitaran gereja. Ada bangunan sekolah, dan klinik kesehatan. Bahkan, di masa pra kemerdekaan, dulu terdapat bangunan sekolah dan Klinik di area pasar dan terminal Moga.

Perang Dunia ke-2 yang melibatkan Jerman dengan Nazinya sebagai aktor utama, berimplikasi terhadap para misionaris Jerman yang ada di Jawa. Para misionaris dari Zending Salatiga (termasuk GKJ Moga) ada yang ditarik pulang ke Jerman, ada juga yang melarikan diri entah kemana. Konon, ada yang melarikan diri ke Amerika dan ke negara-negara Eropa. Bahkan pendeta Paul Kroch yang setelah dari Moga bertugas di Bojonegoro, mengalami penangkapan.

Pasca berakhirnya perang dunia kedua (Perang Asia/ Pendudukan Jepang), menjadi semacam titik balik terjadinya transformasi gereja. Gereja yang awalnya bercorak Kejawen ala Sadrach, dan mendapat pengaruh modern ala Jerman, kemudian berkesempatan untuk menjadi gereja mandiri dengan menyesuaikan konteks lokalnya.

Akromi

Catatan: Tulisan ini adalah rangkuman dari apa yang dipaparkan oleh Pendeta Trombin Naftaliyus (narasumber) dalam diskusi sejarah yang digelar oleh forum kajian Politics and Historical Discourse (PHD), Senin, 21 Juli 2025, di Teras Gereja Kristen Jawa Moga.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here