Bukit Mendelem di Kecamatan Belik Pemalang selatan.

Di bawah pohon karet raksasa yang terletak di sebelah barat daya bukit Mendelem terdapat sumber air yang airnya hanya cukup untuk membasuh muka namun keberadaan sumber air tersebut sudah ratusan ahun dalam keadaan stabil. Aliran air tidak pernah berkurang walaupun setiap hari digunakan dan diambil airnya berapapun. Tetapi anehnya bila air tersebut tidak diambil keadaan sumber air tersebut masih tetap hanya cukup untuk membasuh muka.     Masyarakat umum menamakan sumber air semacam itu disebut BELIK bukan KEDHUNG karena kedhung lebih dalam dari Belik dan juga bukan TELAGA karena telaga adalah sumber air yang luas.

Secara Khusus nama Belik tidak menarik perhatian para ahli sejarah. Penulis tertarik nama Belik dalam rangkaian upaya menguak misteri sebuah bukti yang berdiri tegak sendirian dikelilingi deretan pengumuman yang berada di sebelah timur Gunung Slamet. Nama bukit tersebut adalah Bukit Mendelem.

Nama Belik telah disinggung sebagai rangkaian nama rantai – UPACARA SRADHA – sebuah upacara umat Hindu Cina yang dilakukan oleh masyarakat sekitar Bukit Mendelem pada sekitar abad ke-8 sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Hindu Cina pada saat itu atas berkah yang diberikan oleh kemampuan Raja Pemalang yaitu Rakai Panaraban  yang dianggap sebagai titisan Bethara Cina yang pusarannya dimakamkan di puncak Bukit Mendelem yang telah mengalirkan sumber air untuk petani wilayah sekitar Bukit Mendelem sebagai PANCA TIRTA PRAWITASARI antara lain TUK SETU, TUK BENGKAWAH, TUK SILATHING, TUK TELAGA, dan TUK BATUR.

Upacara Sradha sejak abad ke-8 setiap tahunnya dilaksanakan oleh para petani di sekitar wilayah Bukit Mendelem sebagai ungkapan rasa syukur terhadap pemimpin mereka yang diyakini sebagai titisan Cina. Dalam upacara Sradha setiap petani yang naik ke puncak Bukit Mendelem disyaratkan terlebih dahulu SESUCI dengan cara membasuh muka, tangan, dan kaki di sumber bermata air di Belik. Mata air di Belik sudah disebut sejak ada Upacara Sradha ratusan tahun yang lalu pertanda bahwa nama Belik sudah ada sejak upacara Sradha.

Mata air di belik airnya sangat jernih sebelum petani melakukan sesuci riak air hampir tidak ada sehingga dalam keadaan air tenang para petani diwajibkan melihat wajah mereka sendiri seperti bercermin, itulah sebabnya mengapa kemudian sumber mata air itu disebut juga BELIK PENGILON (pengilon = tempat bercermin). Mereka meyakini bila dalam keadaan bercermin wajah mereka tampak jelas itu suatu pertanda rejeki mereka akan cerah dan lancar, tetapi bila dalam bercermin wajah mereka tampak buram maka alamat kamu akan menghadapi kesulitan dalam kehidupan mereka.

Airnya yang jernih dengan pemandangan pohon karet yang mempesona semakin banyak orang yang berkunjung menyaksikan keperkasaan pohon karet yang tumbuh di atas mata air BELIK tersebut. Dahulu pohon karet yang berjumlah dua pohon (sepasang), akibat bencana alam dan juga kekeringan sekarang tinggal satu pohon yang langka. Himbauan kepada masyarakat maupun pemerintah untuk melindungi terhadap bukti sejarah masa lalu justru karena mulai saat itu Belik adalah pesona dan daya tarik yang luar biasa sehingga pendatang berdatangan membangun pemukiman diawali dengan tumbuhnya perkampungan di antara sumber yaitu DUKUH MINGKRIK, sekitar sumber ke selatan lahir DUKUH PENGILON (sampai perempatan sekarang)-ke timur DUKUH SILONGOK baru kemudian ke selatan perempatan lahir DUKUH BEROBAHAN dan KEPETEK.

Di kemudian hari setelah Belik diatur oleh seorang pemimpin semacm kepala desa yaitu BUYUT maka wilayah Desa Belik berkembang dengan tumbuhnya perkampungan baru ke arah wilayah barat. Selanjutnya nama pemukiman tersebut disesuaikan dengan tanda khusus jenis tanaman yang banyak tumbuh di kampung tersebut seperti Pohon Bulu, Pohon Gondang, dan Pohon Tepus sehingga lahir DUKUH BULU, DUKUH GONDANG, dan DUKUH TEPUS.

Berdasarkan penjelasan dalam rangkaian UPACARA SRADHA menyebutkan bahwa Tokoh Super Natural penunggu sumber mata air Belik bernama MARTADIWIRYA sedangkan cikal bakal pemimpin desa Belik yang membawahi wilayah dukuh sekitar sumber mata air BELIK adalah BUYUT MERTA.

Buyut Merta yang hidup sekitar abad ke-10. Sepeninggal kekuasaan Raja Kebon Agung di pengasingan yaitu Rakai Panaraban (abad ke-8) diduga masih keturunan dari Martadiwirya.      

Setelah era baru sekitar abad ke-19 banyak transmigran khususnya dari daerah selatan. Purbolinggo, Sokaraja dll sehingga di Belik muncul pula tokoh-tokoh terkenal seperti  R. Partakusuma, R. Sutisna, dan Martadiwirya.

Belum ada alur yang jelas apakah ada hubungan darah antara Martadiwirya tokoh penunggu sumber mata air di Belik, Buyut Merta sebagai cikal bakal Kepala Desa Belik dan Martadiwirya yang datang sebagai transmigran dari selatan. Nama-nama yang mirip hanya mampu melahirkan dugaan saja. Wallahu a’lam bi showwab.

Pada zaman Majapahit Belik menjadi prasasti Trowulan muncul nama BANGKAL (Randudongkal) dan BUCARI yang mengapit wilayah Belik. Sehingga di zaman             Wikrama Wardana dibangun wilayah Majakerta, Majalangu, dan Tambi. Belik sendiri dipimpin oleh seorang PANEWU (daerah panewon meliputi 1000 KK).

Pada tahun 1575 ketika Pemalang ditetapkan sebagai daerah kadipaten dengan P. Benowo sebagai bupati pertama, maka Belik merupakan wilayah yang sangat strategis menjadi sentra di antara jalur Pemalang, Purbolinggo dan jalur Watukumpul – Pulosari.

Patih Sampun yang terkenal hebat telah selesai membangun banyak jembatan sebelum diperintah oleh Bupati di seluruh wilayah Kabupaten Pemalang. Termasuk jembatan yang berada di wilayah Belik antara lain  Jembatan Kali Comal di perbatasan Randudongkal, Jembatan Simaling di Bulakan, dan Jembatan Kali Rejasa di Bentar.

Pada masa itu Islam berkembang pesat di wilayah Belik antara lain berkat jasa mubaligh keliling dari kajoran yaitu Syaikh Abdul Ghofar yang berada di desa Belik beberapa tahun.    Pada jaman Belanda Belik ditetapkan sebagau Kota Ibukota Kawedanan yang dipimpin seorang WEDONO yang membawahi 3 Asisten Wedono yaitu Ass. Wed Watukumpul, Ass. Wed Pulosari yang masing-masing dipimpin seorang ASSISTEN.

Pemerintah Belanda mengangkat seorang juru Nikah atau penghulu sandrad yaitu Kyai Arghubi dari Moga. Kyai Arghubi pada tahun 1925 membangun Masjd Belik Pertama di atas tanah miliknya sebagai waqaf. Kyai Arghubi sering mengambil air untuk wudhu dari sumber mata air Belik yang muncul di sebelah barat masjid yang kemudian diberi nama KALI AMPEL. Nama itu diberikan sebagai penghormatan seorang santri terhadap bekas gurunya yaitu SUNAN NGAMPEL. Desa Belik dipimpin seorang LURAH.

Setelah Indonesia merdeka Belik ditetapkan sebagai ibukota kecamtan yang dipimpin oleh seorang CAMAT yang membawahi 12 desa termasuk desa Belik yang dipimpin oleh seorang KEPALA DESA.

Secara singkat desa Belik telah dipimpin antar lain :

  1. Jaman Hindu dipimpin oleh Buyut
  2. Jaman Islam tidak jelas (panewon?)
  3. Jaman Belanda dipimpin oleh Lurah
  4. Jaman NKRI dipimpin oleh Kepala Desa

 

Tulisan ini berasal dari buku berjudul “Riwayat Desa Belik” karya Darjono, S .Pd

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here